Senin, 07 Juli 2025

Hangatnya Rumah, Ramainya Hati: Catatan Anak Ketiga

 


Aku anak bungsu, anak ketiga, dan meskipun banyak orang bilang anak bungsu biasanya manja atau pendiam, sebenarnya aku nggak pendiam-pendiam banget. Aku justru suka ramai, apalagi kalau sudah urusan masak. Entah kenapa, sejak kecil aku senang berdiri di samping ibu di dapur, memperhatikan cara beliau mengiris bawang, mencicipi kuah sayur, atau meracik bumbu. Lama-lama jadi keterusan sampai sekarang, dan keluarga pun sudah hafal: kalau ada aku, pasti ada makanan.

Kadang aku suka bercanda sendiri, “Di keluarga ini, tugasku bikin semua kenyang dan bahagia.” Dan walaupun terdengar sederhana, ternyata itu cukup bikin aku dekat dengan semua orang, dari kakak pertama, kakak kedua, sampai sepupu dan ponakan.

Kakak pertamaku perempuan, dia tipe yang perhatian, suka mengingatkan ini-itu, dan kadang kelihatan cerewet. Pernah dia bilang, “Kamu itu nggak cuma harus pintar masak, tapi juga harus jaga kesehatan, jangan kebanyakan makan gorengan.” Awalnya bikin kesal, tapi aku tahu itu bentuk sayangnya. Dia juga sering jadi orang pertama yang memuji kalau aku bikin makanan baru. Pernah aku bikin donat untuk pertama kalinya, dan dia bilang, “Wah enak juga ya, kamu berbakat.” Mendengar itu bikin aku senyum seharian.

Sementara kakak keduaku cowok, dan dia lebih cuek. Dia jarang komen soal masakanku, kadang cuma nyeletuk, “Lumayan lah,” sambil ngambil lagi. Tapi justru itu jadi pujian paling tulus. Soalnya kalau dia nggak suka, dia pasti langsung bilang, “Apa ini? Aneh.” Jadi kalau dia nambah porsi, itu tandanya benar-benar enak.

Ayahku sendiri pendiam, tapi beliau selalu jadi orang yang paling pertama duduk di meja makan saat aku bilang, “Yah, sudah jadi nih, dicoba ya.” Dan meskipun cuma senyum kecil atau bilang, “Enak,” itu rasanya lebih berarti daripada komentar panjang. Ibu, tentu saja, jadi guruku di dapur. Ibu suka bilang, “Masak itu soal hati, bukan cuma soal resep.” Awalnya aku nggak paham, tapi makin ke sini, aku sadar: kalau masak sambil senyum, hasilnya selalu lebih nikmat.

Keluarga kami nggak sering liburan jauh. Kebanyakan waktu kami habiskan di rumah, kadang di akhir pekan kami nonton film bareng sambil ngemil popcorn buatan sendiri, atau aku bikin camilan baru yang resepnya aku lihat di internet. Kakak pertama biasanya sibuk pilih film, kakak kedua protes, “Jangan film drama lagi,” dan aku ikut tertawa melihat mereka ribut kecil.

Pernah aku bilang ke ibu, “Nggak apa-apa ya kita nggak liburan jauh?” Ibu jawab sambil tersenyum, “Liburan nggak selalu soal tempat, kadang cukup soal siapa yang bersama kita.” Dan aku setuju banget. Karena meskipun hanya di rumah, kami selalu punya cerita.

Yang paling seru adalah kalau sudah kumpul keluarga besar. Meskipun keluarga inti kami jarang pergi liburan, keluarga besar kami justru sangat kompak. Biasanya kalau Lebaran, ulang tahun nenek, atau acara syukuran, kami semua ngumpul di rumah nenek. Rumahnya nggak terlalu besar, tapi selalu penuh tawa.

Aku punya banyak sepupu, ada yang lebih tua, ada juga yang lebih muda. Ada yang pendiam, ada juga yang rame banget. Begitu ketemu, suasana langsung pecah. Sepupu-sepupuku suka manggil aku, “Eh, masakin dong! Katanya kamu jago masak?” Dan aku memang senang banget kalau bisa masak ramai-ramai bareng mereka. Kadang kami bikin kue sederhana, kadang bikin bakwan goreng bareng sambil nunggu waktu berbuka puasa.

Ponakan-ponakanku juga selalu bikin suasana lebih hidup. Ada yang suka minta dibuatkan kue kesukaannya, ada yang ikut-ikutan bantu padahal malah bikin dapur makin berantakan. Tapi anehnya, aku selalu senang. Melihat tangan kecil mereka pegang sendok atau mangkok, rasanya seperti melihat versi kecilku dulu saat pertama kali ikut ibu di dapur.

Aku ingat waktu acara keluarga terakhir, sepupuku yang paling bawel bilang, “Gimana sih caranya biar donatmu empuk kayak kemarin?” Aku jelasin sambil ketawa, dan mereka dengarkan dengan antusias. Momen seperti itu sederhana, tapi bikin aku merasa dekat. Nggak ada jarak, meskipun jarang ketemu.


Kakak pertama biasanya bantu ibu-ibu lain di dapur juga. Kadang dia jadi semacam ketua dapur dadakan: ngatur siapa bikin apa, ngecek bumbu, dan mengingatkan siapa pun yang mulai bercanda kelewat lama. Sementara kakak kedua lebih sering di luar: main sama ponakan cowok, ngurusin kursi atau kipas angin, atau sekadar duduk sambil ngobrol sama sepupu cowok yang lain. Dia memang kelihatan cuek, tapi sebenarnya selalu ikut bantu kalau ada yang perlu diangkat atau dipindah.

Kalau malam, kami sering duduk di teras rumah nenek. Suara jangkrik, angin malam, dan cerita-cerita masa kecil. Paman dan bibi cerita tentang ayah dan ibu waktu muda, sepupu-sepupu saling ejek, dan ponakan kecil berlarian ke sana kemari. Aku cuma duduk sambil tersenyum, sambil kadang mengelus kepala ponakan yang duduk di pangkuanku.

Ada juga keluarga bibiku yang meskipun hidup sederhana, selalu ceria. Sepupuku pernah bilang, “Kita sih jarang makan di restoran, tapi yang penting ramai.” Mendengar itu aku tersenyum. Rasanya mirip sekali dengan keluargaku sendiri. Setiap keluarga punya caranya masing-masing untuk bahagia.

Keluarga pamanku juga selalu penuh cerita. Anak-anaknya aktif dan punya banyak prestasi. Kadang aku dengar cerita mereka juara lomba atau liburan ke luar kota. Dulu aku sempat iri, tapi lama-lama aku sadar, aku juga punya kebanggaan sendiri: bisa masak untuk keluarga, membuat orang-orang tersenyum karena makananku.

Kadang ada juga ponakan kecil yang nyeletuk polos, “Tante, bikinin kue yang kemarin dong!” Atau sepupu yang bilang, “Kangen nih sama donat buatanmu.” Bagi orang lain mungkin itu cuma kalimat biasa, tapi buatku itu bukti kalau apa yang aku lakukan ada artinya. Bikin aku merasa berguna, meskipun hanya lewat sepiring kue atau semangkuk sup.

Yang paling aku suka, saat kami semua makan bareng. Nggak ada yang sibuk pegang HP, semua ngobrol, tertawa, dan sesekali menggoda siapa yang makan paling banyak. Kadang ayah, yang biasanya pendiam, juga ikutan cerita masa mudanya. Ibu duduk di samping beliau, sesekali tertawa kecil. Dan aku akan menatap mereka semua sambil bilang dalam hati, “Untung aku punya keluarga kayak gini.”

Meskipun keluarga inti kami lebih banyak di rumah, jarang punya foto liburan berlatar pemandangan indah, justru rumah ini jadi tempat paling indah. Dapur jadi tempat aku paling sering menghabiskan waktu, bereksperimen bikin kue, atau mencoba resep baru yang kadang gagal, tapi selalu ada yang mau mencicipi. Kakak pertama jadi orang pertama yang selalu jujur, kakak kedua mungkin cuek tapi nggak pernah menolak kalau diajak jadi ‘tester’, dan ibu yang selalu sabar memberiku tips-tips lama yang kadang nggak ada di buku resep.

Aku pernah bilang ke kakak pertama, “Enak ya, punya keluarga besar yang ramai kayak gini.” Dia jawab, “Iya, meskipun jarang ketemu, tapi pas ketemu rasanya deket lagi.” Kakak kedua yang duduk nggak jauh cuma nyeletuk, “Yang penting makanannya enak.” Kami semua tertawa.

Sebagai anak bungsu, aku merasa punya posisi unik. Aku belajar banyak dari kakak-kakakku, belajar sabar dari ibu, belajar diam yang bermakna dari ayah, dan belajar jadi bagian dari keluarga besar yang selalu saling mendukung.

Mungkin kami jarang liburan, nggak punya banyak foto di tempat wisata, tapi punya ratusan cerita lucu di dapur, di teras rumah, di meja makan. Dan buatku, itu lebih dari cukup.

Karena, seperti kata ibu, “Yang penting kita sama-sama, sehat, dan saling sayang. Itu sudah liburan paling mahal.”

Dan aku percaya, rumah kami dengan bau masakan yang memenuhi dapur, tawa keluarga besar yang pecah saat berkumpul, dan cinta yang meskipun tak selalu diucapadalah tempat paling bahagia di dunia.


0 komentar:

Posting Komentar