Aku
anak bungsu, anak ketiga, dan meskipun banyak orang bilang anak bungsu biasanya
manja atau pendiam, sebenarnya aku nggak pendiam-pendiam banget. Aku justru
suka ramai, apalagi kalau sudah urusan masak. Entah kenapa, sejak kecil aku
senang berdiri di samping ibu di dapur, memperhatikan cara beliau mengiris
bawang, mencicipi kuah sayur, atau meracik bumbu. Lama-lama jadi keterusan
sampai sekarang, dan keluarga pun sudah hafal: kalau ada aku, pasti ada
makanan.
Kadang
aku suka bercanda sendiri, “Di keluarga ini, tugasku bikin semua kenyang dan
bahagia.” Dan walaupun terdengar sederhana, ternyata itu cukup bikin aku
dekat dengan semua orang, dari kakak pertama, kakak kedua, sampai sepupu dan
ponakan.
Kakak
pertamaku perempuan, dia tipe yang perhatian, suka mengingatkan ini-itu, dan
kadang kelihatan cerewet. Pernah dia bilang, “Kamu itu nggak cuma harus
pintar masak, tapi juga harus jaga kesehatan, jangan kebanyakan makan
gorengan.” Awalnya bikin kesal, tapi aku tahu itu bentuk sayangnya. Dia
juga sering jadi orang pertama yang memuji kalau aku bikin makanan baru. Pernah
aku bikin donat untuk pertama kalinya, dan dia bilang, “Wah enak juga ya,
kamu berbakat.” Mendengar itu bikin aku senyum seharian.
Sementara
kakak keduaku cowok, dan dia lebih cuek. Dia jarang komen soal masakanku,
kadang cuma nyeletuk, “Lumayan lah,” sambil ngambil lagi. Tapi justru
itu jadi pujian paling tulus. Soalnya kalau dia nggak suka, dia pasti langsung
bilang, “Apa ini? Aneh.” Jadi kalau dia nambah porsi, itu tandanya
benar-benar enak.
Ayahku
sendiri pendiam, tapi beliau selalu jadi orang yang paling pertama duduk di
meja makan saat aku bilang, “Yah, sudah jadi nih, dicoba ya.” Dan
meskipun cuma senyum kecil atau bilang, “Enak,” itu rasanya lebih
berarti daripada komentar panjang. Ibu, tentu saja, jadi guruku di dapur. Ibu
suka bilang, “Masak itu soal hati, bukan cuma soal resep.” Awalnya aku
nggak paham, tapi makin ke sini, aku sadar: kalau masak sambil senyum, hasilnya
selalu lebih nikmat.
Keluarga
kami nggak sering liburan jauh. Kebanyakan waktu kami habiskan di rumah, kadang
di akhir pekan kami nonton film bareng sambil ngemil popcorn buatan sendiri,
atau aku bikin camilan baru yang resepnya aku lihat di internet. Kakak pertama
biasanya sibuk pilih film, kakak kedua protes, “Jangan film drama lagi,”
dan aku ikut tertawa melihat mereka ribut kecil.
Pernah
aku bilang ke ibu, “Nggak apa-apa ya kita nggak liburan jauh?” Ibu jawab
sambil tersenyum, “Liburan nggak selalu soal tempat, kadang cukup soal siapa
yang bersama kita.” Dan aku setuju banget. Karena meskipun hanya di rumah,
kami selalu punya cerita.
Yang
paling seru adalah kalau sudah kumpul keluarga besar. Meskipun keluarga inti
kami jarang pergi liburan, keluarga besar kami justru sangat kompak. Biasanya
kalau Lebaran, ulang tahun nenek, atau acara syukuran, kami semua ngumpul di
rumah nenek. Rumahnya nggak terlalu besar, tapi selalu penuh tawa.
Aku
punya banyak sepupu, ada yang lebih tua, ada juga yang lebih muda. Ada yang
pendiam, ada juga yang rame banget. Begitu ketemu, suasana langsung pecah.
Sepupu-sepupuku suka manggil aku, “Eh, masakin dong! Katanya kamu jago
masak?” Dan aku memang senang banget kalau bisa masak ramai-ramai bareng
mereka. Kadang kami bikin kue sederhana, kadang bikin bakwan goreng bareng
sambil nunggu waktu berbuka puasa.
Ponakan-ponakanku
juga selalu bikin suasana lebih hidup. Ada yang suka minta dibuatkan kue
kesukaannya, ada yang ikut-ikutan bantu padahal malah bikin dapur makin
berantakan. Tapi anehnya, aku selalu senang. Melihat tangan kecil mereka pegang
sendok atau mangkok, rasanya seperti melihat versi kecilku dulu saat pertama
kali ikut ibu di dapur.
Aku
ingat waktu acara keluarga terakhir, sepupuku yang paling bawel bilang, “Gimana
sih caranya biar donatmu empuk kayak kemarin?” Aku jelasin sambil ketawa,
dan mereka dengarkan dengan antusias. Momen seperti itu sederhana, tapi bikin
aku merasa dekat. Nggak ada jarak, meskipun jarang ketemu.
Kakak
pertama biasanya bantu ibu-ibu lain di dapur juga. Kadang dia jadi semacam
ketua dapur dadakan: ngatur siapa bikin apa, ngecek bumbu, dan mengingatkan
siapa pun yang mulai bercanda kelewat lama. Sementara kakak kedua lebih sering
di luar: main sama ponakan cowok, ngurusin kursi atau kipas angin, atau sekadar
duduk sambil ngobrol sama sepupu cowok yang lain. Dia memang kelihatan cuek,
tapi sebenarnya selalu ikut bantu kalau ada yang perlu diangkat atau dipindah.
Kalau
malam, kami sering duduk di teras rumah nenek. Suara jangkrik, angin malam, dan
cerita-cerita masa kecil. Paman dan bibi cerita tentang ayah dan ibu waktu
muda, sepupu-sepupu saling ejek, dan ponakan kecil berlarian ke sana kemari.
Aku cuma duduk sambil tersenyum, sambil kadang mengelus kepala ponakan yang
duduk di pangkuanku.
Ada
juga keluarga bibiku yang meskipun hidup sederhana, selalu ceria. Sepupuku
pernah bilang, “Kita sih jarang makan di restoran, tapi yang penting ramai.”
Mendengar itu aku tersenyum. Rasanya mirip sekali dengan keluargaku sendiri.
Setiap keluarga punya caranya masing-masing untuk bahagia.
Keluarga
pamanku juga selalu penuh cerita. Anak-anaknya aktif dan punya banyak prestasi.
Kadang aku dengar cerita mereka juara lomba atau liburan ke luar kota. Dulu aku
sempat iri, tapi lama-lama aku sadar, aku juga punya kebanggaan sendiri: bisa
masak untuk keluarga, membuat orang-orang tersenyum karena makananku.
Kadang
ada juga ponakan kecil yang nyeletuk polos, “Tante, bikinin kue yang kemarin
dong!” Atau sepupu yang bilang, “Kangen nih sama donat buatanmu.”
Bagi orang lain mungkin itu cuma kalimat biasa, tapi buatku itu bukti kalau apa
yang aku lakukan ada artinya. Bikin aku merasa berguna, meskipun hanya lewat
sepiring kue atau semangkuk sup.
Yang
paling aku suka, saat kami semua makan bareng. Nggak ada yang sibuk pegang HP,
semua ngobrol, tertawa, dan sesekali menggoda siapa yang makan paling banyak.
Kadang ayah, yang biasanya pendiam, juga ikutan cerita masa mudanya. Ibu duduk
di samping beliau, sesekali tertawa kecil. Dan aku akan menatap mereka semua
sambil bilang dalam hati, “Untung aku punya keluarga kayak gini.”
Meskipun
keluarga inti kami lebih banyak di rumah, jarang punya foto liburan berlatar
pemandangan indah, justru rumah ini jadi tempat paling indah. Dapur jadi tempat
aku paling sering menghabiskan waktu, bereksperimen bikin kue, atau mencoba
resep baru yang kadang gagal, tapi selalu ada yang mau mencicipi. Kakak pertama
jadi orang pertama yang selalu jujur, kakak kedua mungkin cuek tapi nggak
pernah menolak kalau diajak jadi ‘tester’, dan ibu yang selalu sabar memberiku
tips-tips lama yang kadang nggak ada di buku resep.
Aku
pernah bilang ke kakak pertama, “Enak ya, punya keluarga besar yang ramai
kayak gini.” Dia jawab, “Iya, meskipun jarang ketemu, tapi pas ketemu
rasanya deket lagi.” Kakak kedua yang duduk nggak jauh cuma nyeletuk, “Yang
penting makanannya enak.” Kami semua tertawa.
Sebagai
anak bungsu, aku merasa punya posisi unik. Aku belajar banyak dari
kakak-kakakku, belajar sabar dari ibu, belajar diam yang bermakna dari ayah,
dan belajar jadi bagian dari keluarga besar yang selalu saling mendukung.
Mungkin
kami jarang liburan, nggak punya banyak foto di tempat wisata, tapi punya
ratusan cerita lucu di dapur, di teras rumah, di meja makan. Dan buatku, itu
lebih dari cukup.
Karena,
seperti kata ibu, “Yang penting kita sama-sama, sehat, dan saling sayang.
Itu sudah liburan paling mahal.”
Dan
aku percaya, rumah kami dengan bau masakan yang memenuhi dapur, tawa keluarga
besar yang pecah saat berkumpul, dan cinta yang meskipun tak selalu diucapadalah
tempat paling bahagia di dunia.
0 komentar:
Posting Komentar